Ilmu HRD

Blog berbagi ilmu untuk praktisi HR

Breaking

Cari di Blog Ini

27.12.17

Wajib Lapor Ketenagakerjaan




Sudah melaporkan Wajib Lapor Ketenagakerjaan Perusahaan Anda?
Tahukah anda, bahwa Kementerian Tenaga Kerja telah meluncurkan Wajib Lapor secara online?

Bagi anda praktisi HR yang sudah terbiasa membuat dan melaporkan Wajib Lapor Ketenagakerjaan (WLK) tentu sudah paham dan mahir untuk mengurus Wajib Lapor ini ke instansi ketenagakerjaan yang berwenang dengan cara konvensional, yaitu menyampaikan data-data perusahaan dan ketenagakerjaan yang diketik dalam formulir khusus yang disediakan oleh dinas ketenagakerjaan setempat.

Namun bagi praktisi HR yang masih "newbie" dan belum banyak pengalaman dalam bidang HR/GA tentu akan bingung dan harus mencari tahu atau mencari referensi untuk mengurus WLK ini. Tapi jangan khawatir, kali ini saya akan membahas apa dan bagaimana cara membuat atau mengurus WLK.

Dasar hukum diberlakukannya WLK adalah Undang Undang No.7 Tahun 1981 Tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan. Ketentuan dalam Undang-undang tersebut mewajibkan setiap pengusaha atau pengurus untuk melaporkan secara tertulis setiap mendirikan, menghentikan, menjalankan kembali, memindahkan atau membubarkan perusahaan kepada menteri atau pejabat yang berwenang.
Formulir WLK

Siapa yang bertanggung jawab membuat dan melaporkan WLK?

26.12.17

Paklaring, Wajib diberikan kepada pekerja? (Update : 12 Juli 2020)




Istilah paklaring ini sudah menjadi kata yang tidak asing dalam dunia kerja di Indonesia. Paklaring dipahami oleh pekerja dan praktisi HRD sebagai “Surat Pengalaman Kerja” yang diterbitkan oleh perusahaan (pemberi kerja) kepada pekerjanya yang tidak lagi bekerja, baik dikarenakan pengunduran diri si pekerja (resign), Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), maupun karena Pensiun. Dokumen ini sangat diperlukan bagi pekerja untuk:
  • Melamar bekerja kembali, karena paklaring berisi keterangan tentang pengalaman kerja serta kompetensi (jabatan terahir) yang dibutuhkan oleh perusahaan yang dilamarnya.
  • Sebagai salah satu syarat mencairkan JHT BPJS Ketenagakerjaan,
Contoh Paklaring
Gambar oleh : Usman Y
Arti istilah Paklaring

Penulis telah mencoba mencari referensi tentang istilah paklaring dari berbagai sumber, termasuk di halaman Wikipedia Indonesia, namun tidak ditemukan kata atau artikel yang membahas khusus tentang istilah tersebut.  Istilah paklaring ini justru ditemukan dalam Hukum Agraria yaitu dalam istilah “Domein Verklaring”. Secara etimologi “Domein Verklaring” berasal dari Bahasa Belanda yang terdi dari 2(dua) kata yaitu “Domein” yang artinya Wilayah yang menjadi milik, dan “Verklaring”  yang artinya pernyataan/menyatakan. “Domein Verklaring” yaitu Pernyataan yang menegaskan bahwa semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu miliknya, maka tanah itu adalah milik (eigendom) Negara.

Dari penjelasan tersebut maka disimpulkan bahwa Paklaring berasal dari Bahasa Belanda “Verklaring” yang artinya “Pernyataan”.  Selanjutnya istilah ini kerap dipakai dalam praktik perburuhan atau ketenagakerjaan dan dikenal sebagai Paklaring.

Paklaring adalah surat pernyataan “pengalaman kerja” yang memuat keterangan mengenai sifat pekerjaan yang pernah dilakukan, lamanya hubungan kerja berlangsung, dan bagaimana karyawan melakukan pekerjaannya, serta apa sebab/alasan pengakhiran hubungan kerjanya. Dalam Pasal 1602z Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) disebut “surat pernyataan” berkenaan dengan berakhirnya hubungan kerja seseorang karyawan (pekerja/buruh).(sumber: hukumonline.com)

Bagaimana jika Perusahaan menolak memberikan Paklaring?

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, bahkan tidak menyinggung secara jelas mengenai Paklaring ini, namun bagi pekerja maupun praktisi HRD di Indonesia paklaring dimaklumi sebagai salah satu hak pekerja yang telah putus hubungan kerjanya dengan perusahaan/pemberi kerja.

Pasal 1602z Kitab Undang-undang Hukum Perdata, menyebutkan sbb:
“Si majikan diwajibkan pada waktu berakhirnya perhubungan kerja, atas permintaan si buruh, memberikan kepadanya sepucuk surat pernyataan yang ditandatangani olehnya”.

Di paragraph berikutnya dari pasal tersebut menyebutkan sbb:
“Si majikan yang menolak memberikan surat pernytaan yang diminta, atau dengan sengaja menuliskan keterangan-keterangan yang tidak benar, atau pula memberikan suatu tanda pada surat pernyataannya yang dimaksudkan untuk memberikan sesuatu keterangan si buruh yang tidak termuat dalam surat pernyataannya sendiri atau lagi memberikan keterangan-keterangan kepada orang-orang pihak ketiga yang bertentangan dengan surat pernyataanya, adalah bertanggung jawab baik terhadap si buruh maupun terhadap orang-orang pihak ketiga  tentang kerugian yang diterbitkan karenanya."

Sebagaimana diketahui KUH Perdata hanya mengatur hukum privat, dimana Negara tidak bisa hadir jika hubungan hukum yang terjadi adalah antara para pihak. Maka meskipun Pasal 1602z tersebut mewajibkan pemberi kerja memberikan Paklaring namun ia juga dapat menolaknya dimana penolakan tersebut hanya bisa dilawan melalui pengadilan perdata jika ada pihak yang dirugikan dengan penolakan pemberi kerja tersebut. Dalam hal ini Negara tidak bisa memberikan sanksi apapun kepada pengusaha/pemberi kerja yang menolak memberikan Paklaring kepada pekerjanya yang telah putus hubungan kerjanya.

Pemberian paklaring ini menjadi hukum publik mana kala hal tersebut dituangkan dalam perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama (PKB), maupun Peraturan Perusahaan (PP). Jika telah menjadi hukum publik maka Negara dapat hadir atau ikut campur dalam pelaksanaanya termasuk dapat memberikan sanksi.

YURISPRUDENSI 

Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Banda Aceh sengketa hubungan industrial register Nomor 5/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Bna tanggal 5 September 2016, perkara antara:
- RUDY, sebagai Penggugat; melawan
- PT. Internusa Tribuana Citra (PT. ITC) Multifinance Cabang Banda Aceh, selaku Tergugat.
Penggugat merupakan pegawai Tergugat, menuntut agar dirinya yang dinyatakan mengundurkan diri agar diberikan surat pengalaman kerja, dimana terhadap gugatan Penggugat, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

 
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :

“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-1 dan bukti P-2 dapat diketahui terdapat hubungan Hukum antara Penggugat dengan Para Tergugat, yaitu sebagai Pekerja dan Pemberi kerja sesuai dengan Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 3 dan 4 Undang Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-3 dan bukti T-1 dapat diketahui Penggugat menyatakan mengundurkan diri terhitung sejak tanggal 23 Nopember 2015 dengan alasan ingin mencari pengalaman baru. Adapun surat pengunduran diri Penggugat ditulis tangan dan ditandatangani oleh Penggugat.

“Menimbang, bahwa berdasarkan posita surat gugatan penggugat menyatakan surat pengunduran diri Penggugat tanggal 23 November 2015 dibuat oleh Penggugat karena dipaksa oleh Tergugat. Selanjutnya setelah penandatanganan surat pengunduran diri tersebut, Penggugat tidak diizinkan oleh Para Tergugat untuk bekerja kembali di Perusahaan milik Para Tergugat.

“Menimbang, bahwa mengenai sahnya sebuah surat pengunduran diri majelis hakim akan memberikan pertimbangannya sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti tertulis yang diajukan Penggugat di persidangan surat pengunduran diri Penggugat (Vide: Bukti P-3 dan Bukti T-1) ditulis tangan oleh Penggugat. Jika Penggugat merasa ditekan atau dipaksa atau diintimidasi oleh Para Tergugat, maka tentu saja Penggugat dapat menulis sebuah surat baru yang berisi pembatalan atas surat pengunduran diri tersebut. Namun faktanya, tidak ada bukti tertulis yang diajukan Penggugat di dalam persidangan tentang pembatalan surat pengunduran diri Penggugat yang dibuat pada tanggal 23 November 2015.

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas Majelis Hakim berkesimpulan bahwa dengan adanya surat pengunduran diri tersebut, maka surat tersebut dianggap sah, sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya.

“Artinya, Penggugat harus dapat membuktikan adanya “paksaan”, atau “tekanan” atau “intimidasi” dalam penandatanganan surat pengunduran diri Penggugat tersebut. Faktanya di dalam persidangan Penggugat tidak dapat membuktikan adanya paksaan / tekanan / intimidasi terhadap terbitnya surat pengunduran diri yang dibuat Penggugat. Oleh karenanya, Majelis Hakim menyatakan surat pengunduran diri Penggugat yang dibuat pada tanggal 23 November 2015 adalah sah dan memiliki kekuatan Hukum mengikat.

“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 162 ayat (4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

“Menimbang, bahwa adanya tuntutan ‘rekomendasi kepada pekerja’ yang dimohonkan Penggugat menurut majelis Hakim adalah wajar untuk diserahkan oleh Para Tergugat kepada Penggugat sebagaimana dimaksud Pasal 1602 Z KUHPerdata :

‘Majikan, pada waktu berakhirnya hubungan kerja atas permintaan buruh wajib memberikan kepadanya sepucuk surat keterangan yang dibubuhi tanggal dan tandatangan olehnya. Surat keterangan itu harus memuat suatu keterangan sesungguhnya tentang sifat pekerjaan yang telah dilakukan dan lamanya hubungan kerja, dan atas permintaan khusus dari buruh yang bersangkutan harus memuat pula keterangan tentang cara buruh menunaikan kewajiban-kewajibannya dan alasan alasan hubungan kerja itu berakhir.

‘Jika majikan memutuskan hubungan kerja tanpa memajukan suatu alasan, maka dia hanya menyebutkan hal itu, tanpa wajib menyebutkan alasan alasannya. Jika buruh memutuskan hubungan kerja secara bertentangan dengan Hukum, majikan berhak menyebutkan hal itu dalam surat keterangan.
‘Majikan yang menolak memberikan surat keterangan yang diminta, atau sengaja menuliskan keterangan yang tidak benar, atau memberikan suatu tanda pada surat keterangan yang dimaksud untuk memberikan suatu keterangan tentang buruh yang tidak termuat dalam kata-kata surat keterangan itu, atau memberikan kepada pihak ketiga keterangan keterangan yang bertentangan dengan surat keterangan, bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi, baik terhadap buruh maupun kepada pihak ketiga.

‘Tiap perjanjian yang dapat menghapuskan atau membatasi kewajiban kewajiban majikan ini adalah batal.’

“Menimbang, bahwa setelah tanggal 23 Nopember 2015 pasca Penggugat menggundurkan diri pada tanggal 26 Nopember 2015 Para Tergugat mengadukan Penggugat ke Polres Banda Aceh dengan tuduhan melakukan tindak pidana penggelapan yang merugikan perusahan. Berdasarkan bukti T-7 dapat diketahui Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor: 53/Pid.B/2016/PN Bna tanggal 31 Mei 2016 menyatakan Penggugat secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penggelapan Dalam Jabatan Yang Dilakukan Secara Berlanjut” sedangkan berdasarkan bukti P-5 yaitu Surat Akta Banding Nomor 53/Akta Pid./2016/PN.Bna. tanggal 01 Juni 2016 dapat diketahui adanya upaya hukum Penggugat masih berlanjut ke tingkat banding sehingga putusan No 53/Pid.B/2016/PN.Bna tanggal 31 Mei 2016 tersebut belum memiliki kekuatan Hukum mengikat, meskipun demikian Majelis Hakim berpendapat surat rekomendasi yang dimohonkan oleh Penggugat sebagai mana bunyi Pasal 1602 Z KUH Perdata tidak terhalang oleh proses hukum Pidana yang sedang berlangsung karena Pengunduran Diri Penggugat telah sah berlaku sejak tanggal 23 November 2015.

“Menimbang, bahwa Hubungan Kerja antara Penggugat dan Para Tergugat telah putus sejak Penggugat mengundurkan diri tanggal 23 Nopember 2015 maka, berdasarkan Pasal 156 ayat (4) Undang Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maka uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh Penggugat adalah sebagai berikut: Penggugat Rudy jabatan terakhir sebagai Collateral Administrasion Officer di PT.Internusa Tribuana Citra Multi Finance dan upah terakhir sebesar Rp.2.800.000,-.

  1. Penggantian uang cuti tahunan tahun 2015 yang belum dinikmati 12/25 X Rp.2.800.000,- = Rp.1.344.000,-
  2. Uang Pisah 1 (satu) bulan upah Rp.2.800.000
        Jumlah seluruhnya Rp. 4.144.000,-.

“M E N G A D I L I :
  1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk sebagian;
  2. Menyatakan Putus dan berakhir hubungan kerja antara Penggugat dengan Para Tergugat karena Penggugat mengundurkan diri terhitung sejak Penggugat mengundurkan diri pada tanggal 23 Nopember 2015;
  3. Menghukum Para Tergugat untuk memberikan Rekomendasi berupa Surat Pengalaman Bekerja kepada Penggugat;
  4. Menghukum Para Tergugat untuk membayar
  • a. Penggantian uang cuti tahunan tahun 2015 yang belum dinikmati 12/25 X Rp.2.800.000,- = Rp.1.344.000,-
  • Uang Pisah 1 (satu) bulan upah Rp.2.800.000,-
            Jumlah seluruhnya Rp. 4.144.000,- (empat juta seratus empat puluh empat ribu rupiah
        5. Menolak Gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”


Kesimpulan:

Berdasarkan putusan tersebut maka Paklaring merupakan Hak Normatif pekerja, yang wajib diberikan oleh perusahaan.

Sayangnya sistem peradilan kita tidak menganut Sistem hukum Anglo-Saxon yang menganggap Yurisprudensi sebagai sumber hukum. Sehingga putusan tersebut bisa saja menjadi pertimbangan hakim bisa saja tidak. Namun paling tidak ini dapat memberikan harapan bagi pekerja dalam mencari keadilan terkait haknya untuk mendapatkan paklaring.

Disamping itu paklaring dapat dipahami sebagai salah satu hak pekerja, namun pemberi kerja/pengusaha dapat menolak memberikan paklaring dengan alasan tertentu. Dalam hal pekerja merasa dirugikan dengan penolakan tersebut, maka pekerja dapat menggugat melalui Pengadilan Negeri setempat.


23.12.17

Perselisihan Hubungan Industrial




Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. (Pasal 1 ayat 1 UU No.2 Tahun 2004)

Jenis Perselisihan Hubungan Industrial:

Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama

Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

18.12.17

PKWT dan Implementasinya




Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau disingkat PKWT merupakan istilah yang tidak asing lagi terutama bagi para praktisi HRD di Indonesia. Namun meskipun istilah tersebut sudah familiar tapi tidak semua orang bahkan praktisi yang sudah lama berkecimpung di dunia HR memahami dengan benar dalam mempraktikan arti dan maksud dari istilah PKWT tersebut atau bisa saja ada praktisi HR yang sudah paham dan mengerti PKWT yang dimaksud oleh Undang-undang, namun karena 'pesanan' dari pemilik perusahaan (owner) sehingga mereka tidak berdaya. Pada posisi seperti ini sebaiknya setiap praktisi HR lebih mengedepankan penegakan aturan dengan tetap mengakomodir 'pesanan' dari ownner. Karena pada hakekatnya ketika seorang praktisi HR melaksanakan kegiatan ketenagakerjaan dalam sebuah perusahaan sesuai dengan aturan normatif, maka ia telah menyelamatkan owner dari kemungkinan jeratan hukum. Untuk itu diperlukan pencerahan agar mendapatkan ide-ide kreatif untuk menyiasati masalah tersebut.

Dalam artikel ini penulis akan membahas khusus mengenai praktek dan pedoman dalam perjanjian kerja menggunakan PKWT.



sumber : www.mengertihukum.wordpress.com

A. Praktik pelaksanaan PKWT

Dalam prakteknya penulis sering menjumpai pelaksanaan PKWT yang pada pelaksanaannya sama atau mirip seperti perjanjian pada PKWTT (Perjanjian Waktu Tidak Tertentu) yaitu perjanjian untuk pekerja tetap. Ini biasanya terjadi pada PKWT untuk pekerja di bawah kontraktor pada suatu perusahaan di area tertentu di bidang energi/tambang melalui perjanjian penyediaan tenaga kerja. Dalam PKWT, secara normatif tidak mensyaratkan adanya pembayaran pesangon kepada pekerja ketika kontrak berakhir, namun pada prakteknya untuk pekerja pada pada area yang penulis sebutkan di atas tersebut mensyaratkan adanya uang pesangon/uang pisah yang nomenklaturnya bisa bermacam-macam. Contoh yang lainnya misalnya adalah PKWT yang mensyaratkan adanya masa percobaan.


B. Dasar Hukum PKWT

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu diatur dalam Pasal 56 s.d Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dan Peraturan Pelaksananya yaitu Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 100 Tahun 2004.


C. Pedoman Pelaksanaan PKWT yang harus diketahui oleh Praktisi HR

v Syarat Pembuatan PKWT
1. Secara tertulis, bahasa Indonesia, dan huruf latin.
2.  Tidak  dapat mensyaratkan percobaan.
3.  Objek, jenis, dan sifat kegiatan pekerjaannya selesai dalam waktu tertentu.
4. Wajib dicatatkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kab/kota setempat.

v  Jangka Waktu
1.   Paling lama 2 tahun dan hanya diperpanjang 1 kali untuk waktu paling lama 1 tahun.
2.   Dalam hal perpanjangan 7 hari sebelum berakhir diberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh.
3.   Pembaharuan hanya boleh 1 kali dan paling lama 2 tahun.
4.   Dilakukan setelah masa tenggang waktu 30 hari.

v  Pekerjaan yang dapat diperjanjikan dengan PKWT
1.   Pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya.
2.   Penyelesaian pekerjaan dalam waktu tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun.
3.   Bersifat musiman.
4.   Berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajagan.


D. Hak-hak bagi pekerja yang PKWT nya telah berakhir dan tidak diperpanjang lagi.

Dalam hal masih ada hak pekerja  yang belum dipenuhi oleh Perusahaan, maka perusahaan wajib memenuhi hak pekerja sesuai dengan isi perjanjian. Namun apabila Perusahaan telah memenuhi hak pekerja hingga berakhirnya PKWT, maka pekerja tidak dapat menuntut hak apapun kepada Perusahaan. Mengenai hal ini UU No.13/2003 telah mengatur dalam Pasal 62 sebagai berikut:
“Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.”

Lalu kapan PKWT akan berubah secara otomatis menjadi PKWTT? Tunggu pembahasannya  pada artikel selanjutnya.

17.12.17

Manpower Planning




Menjelang akhir tahun, divisi/departemen dalam setiap perusahaan selalu disibukkan dengan rencana kerja dan perencanaan anggaran (budget planning). Tidak terkecuali Department HRD juga harus mempersiapkan rencana anggaran untuk gaji karyawan, pengadaan dan pemeliharaan fasilitas kantor, training, kesejahteraan karyawan, pembayaran pesangon dan berbagai kebutuhan lainnya yang mendukung kegiatan perusahaan dalam satu tahun ke depan.
Salah satu yang paling penting dan krusial adalah perencanaan kebutuhan sumber daya manusia atau disebut dengan istilah Manpower Planning.

Sumber: www.binakarir.com

A. Pengertian Manpower Planning (MPP)

John B. Miner dan Mary Green Miner dalam bukunya Personnel and Industrial Relation              “Perencanaan sumber daya manusia dapat diuraikan sebagai suatu proses yang berusaha menjamin jumlah dan jenis pegawai yang tepat tersedia pada tempat yang tepat pada waktu yang tepat untuk waktu yang akan datang mampu melakukan hal-hal yang diperlukan agar organisasi dapat terus mencapai tujuannya.

Setiap Division Head/Departement Head harus menyusun Manpower Planning untuk keperluan perencanaan masing-masing divisi/departemen dan diserahkan kepada HRD untuk kesepakatan atas "balancing" dari manpower yang diperlukan untuk pemenuhannya.

B. Tujuan Penyusunan Manpower Planning
  1. Agar perusahaan melakukan perencanaan kebutuhan sumber daya manusia secara sistematis sesuai dengan standard kompetensi dan jadwal pemenuhan yang diperlukan.
  2. Agar perencanaan kebutuhan sumber daya manusia yang disusun mempertimbangkan produktifitas perusahaan.
  3. Agar terdapat kesamaan pandangan dari setiap Manager Lini dan management mengenai sumber daya manusia di lingkungan perusahaan dan cara pemenuhannya.
C. Tanggung Jawab Manpower Planning
  1. Setiap Manager Lini bertanggung jawab atas perencanaan sumber daya manusia bagi departemen/divisinya.
  2. HRD Division/Departemen bertanggung jawab atas adanya kesepakatan jumlah kebutuhan sumber daya manusia yang direncanakan masing-masing divisi/departemen untuk tahun berjalan.
  3. HRD Division/Departemen bertanggung atas pemenuhan kekurangan jumlah sumber daya manusia yang diperlukan sesuai dengan rencana (MPP). 
D. Tata cara penyusunan Manpower Planning

Manpower Planning disusun berdasarkan:
  • Visi, misi, budaya dan sasaran bisnis Perusahaan
  • Struktur Organisasi Perusahaan
  • Produktifitas Karyawan
  • Rencana strategis dan rencana operasional bisnis perusahaan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan Manpower Planning adalah:
  • Jumlah manpower dan kompetensi yang diharuskan dimiliki oleh seorang yang akan menduduki posisi/jabatan/golongan yang diperlukan perusahaan/
  • Rencana penugasan dan jadwal penugasan
Adapun langkah-langkah penyusunan MPP adalah sbb:
  1. Manager Lini menghitung kebutuhan sumber daya manusia di departemen/divisinya dengan mengisi formulir kebutuhan manpower tersebut dan disampaikan ke Dept/Divisi HRD.
  2. Setelah semua kebutuhan manpower dari semua departemen dan divisi terkumpul, HRD Dept/Div kemudian merumuskan seluruh kebutuhan manpower perusahaan ke dalam format laporan tertentu.
  3. Berdasarkan "productivity index" atas produktifitas tahun sebelumnya ditentukan indeks tahun ini kemudian dihitung jumlah manpower berdasarkan rasio pertumbuhan dan target sales yang ditetapkan.
  4. HRD Div/Dept mendapatkan kesepakatan tentang jumlah menpower yang diperlukan dari tiap-tiap Div/Departemen.
  5. Menetapkan Manpower Planning Perusahaan, sebagai acuan pelaksanaan pemenuhan dan rekrutmen calon karyawan.
Manpower Planning yang sudah ditetapkan digunakan sebagai acuan HRD Div/Dept dalam melakukan rekrutmen baik "Internal" maupun "Eksternal" dan untuk pengembangan karyawan. 

15.12.17

Struktur Dan Skala Upah




Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan pada tanggal 21 Maret 2017 telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor. 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah. Aturan ini mewajibkan setiap perusahaan atau badan usaha baik milik negara maupun milik swasta bahkan badan sosial yang mempekerjakan orang dengan imbalan upah maupun bentuk lain agar membuat dan melaksanakan Struktur & Skala Upah. (Pasal 1 ayat 6).

A. Apa itu Struktur & Skala Upah?

Dalam Pasal 1 ayat 3 Permen No.1/2017 dijelaskan mengenai definisi Struktur & Skala Upah (disingkat menjadi "SSU"). "SSU adalah susunan tingkat upah dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi atau dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah yang memuat kisaran nilai nominal upah terkecil sampai dengan yang terbesar untuk setiap golongan jabatan".

Kemudian dalam Pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa struktur dan skala upah wajib disusun oleh pengusaha dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi. Berikut ini adalah uraiannya *) Sumber : www.hukumonline.co
  • Golongan merupakan banyaknya Golongan Jabatan.
  • Jabatan merupakan sekelompok tugas dan pekerjaan dalam organisasi Perusahaan.
  • Masa Kerja merupakan lamanya pengalaman melaksanakan pekerjaan tertentu yang dinyatakan dalam satuan tahun yang dipersyaratkan dalam suatu jabatan.
  • Pendidikan merupakan tingkat pengetahuan yang diperoleh dari jenjang pendidikan formal sesuai dengan sistem pendidikan nasional yang dipersyaratkan dalam suatu jabatan.
  • Kompetensi merupakan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja sesuai dengan standar yang ditetapkan dan dipersyaratkan dalam suatu jabatan.


Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa masing-masing golongan jabatan yang sama terdapat kisaran upah (range) tertentu dari yang terkecil sampai dengan yang terbesar. Kisaran inilah yang akan menjadi dasar dalam menentukan besaran upah kepada setiap pekerja dengan mempertimbangkan golongan, jabatan, pengalaman, pendidikan, dan kompetensi yang dimiliki oleh setiap pekerja, agar tercipta upah yang berkeadilan karena tidak didasarkan atas subyektifitas semata namun benar-benar berdasarkan sistem yang terukur.

B. Menyusun dan Memberlakukan SSU

> Tahapan Penyusunan:
Ada 3(tiga) tahapan pokok dalam menyusun SSU.
  1. Membuat Analisa Jabatan; yaitu proses memperoleh dan mengolah jabatan menjadi informasi jabatan yang dituangkan dalam uraian jabatan. Di dalam Perusahaan ini biasa dikenal sebagai JOBDES (Job Description).
  2. Evaluasi Jabatan; adalah proses menilai, membandingkan, dan memeringkat jabatan
  3. Menentukan struktur skala upah dengan formula tertentu dengan mempertimbangkan kemampuan perusahaan dan harus memperhatikan Upah minimum yang berlaku.


>Tata Cara Pemberlakuan:
SSU yang telah dibuat oleh perusahaan harus ditetapkan oleh pimpinan perusahaan melalui Surat Keputusan (Pasal 5). SSU tersebut kemudian harus diberitahukan kepada pekerja dg cara:
  1. Diberitahukan secara perorangan, karena sifatnya yang “confidential”
  2. SSU yang diberitahukan sekurang-kurangnya adalah SSU pada golongan jabatan pekerja yang bersangkutan.

SSU yang telah dibuat oleh perusahaan harus disahkan oleh instansi ketenagakerjaan yang berwenang. (Mengenai tata cara permohonan pengesahan kepada instansi ketenagakerjaan akan dibahas pada bab lain).


Info Grafis Struktur & Skala upah


C. Sanksi bagi perusahaan yang tidak melaksanakan SSU


Pengusaha yang tidak menyusun Struktur dan Skala Upah serta tidak memberitahukan kepada seluruh pekerja dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sanksi tersebut antara lain;

  • Teguran tertulis;
  • Pembatasan Kegiatan Usaha;
  • Penghentian sementara atau seluruh alat produksi; dan
  • Pembekuan kegiatan usaha.

Entri yang Diunggulkan

Omnibus Law Ketenagakerjaan dan Urgensinya

Bogor, 31-01-2020. Sudah lebih sekitar tiga bulan terakhir ini, kita sering kali mendengar istilah "Omnibus Law" bahkan hingga sa...