Undang Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial telah mengamanatkan kepada 2 (dua) Badan Hukum Publik yang bertanggung jawab kepada Presiden untuk menyelenggarakan jaminan sosial kepada seluruh masyarakat Indonesia. 2(dua) badan tersebut yakni Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan).
BPJS Kesehatan sebelumnya bernama Askes (Asuransi Kesehatan), yang dikelola oleh PT Askes Indonesia (Persero), namun sesuai UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, PT. Askes Indonesia berubah menjadi BPJS Kesehatan sejak tanggal 1 Januari 2014. Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan dahulunya adalah PT. Jamsostek (Persero).
Sejak dimulainya pelayanan kesehatan oleh BPJS Kesehatan, banyak sekali permasalahan baik dari sisi pembayaran premi maupun dari sisi pelayanan kesehatan itu sendiri. Namun demikian keberadaan BPJS Kesehatan ini dirasa sangat membantu terutama bagi masyarakat yang tidak mampu, Bayangkan saja, masyarakat yang dulunya tidak mengenal bahkan mustahil memiliki asuransi kesehatan untuk dirinya dan keluarganya, kini dapat memiliki asuransi kesehatan dan ditanggung biaya kesehatannya oleh penjamin kesehatan dengan premi yang sangat kecil bahkan bebas premi bagi masyarakat yang tergolong miskin (Penerima bantuan Iuran) karena preminya dibayar oleh Pemerintah Indonesia.
Penerimaan premi lebih kecil dari jumlah klaim yang dibayarkan BPJS
Dikutip dari halaman CNNindonesia.com, bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan membukukan klaim sepanjang tahun 2017 sebesar Rp.84 triliun. Jumlah klaim tersebut melampaui pendapatan iuran perseroan yang hanya sebesar Rp.74,25 triliun pada periode yang sama.
Biaya pelayanan kesehatan yang paling besar dibayar BPJS Kesehatan untuk penyakit berat atau disebut katastropik, misalnya kanker, jantung, dan gagal ginjal. Tahun 2017 BPJS Kesehatan membayar biaya pelayanan penyakit jantung sebesar Rp9,2 triliun, kanker Rp3 triliun, dan gagal ginjal Rp2,2 triliun. Selain itu, ada beberapa penyakit lain yang tidak tergolong katastropik tapi penjaminannya menyedot dana besar yakni katarak di tahun 2017 penjaminan yang dibayar BPJS Kesehatan mencapai Rp2,65 triliun, bayi baru lahir sehat Rp1,17 triliun, dan rehabilitasi medik serta fisioterapi Rp965 milyar. (Hukumonline.com)
Biaya pelayanan kesehatan yang paling besar dibayar BPJS Kesehatan untuk penyakit berat atau disebut katastropik, misalnya kanker, jantung, dan gagal ginjal. Tahun 2017 BPJS Kesehatan membayar biaya pelayanan penyakit jantung sebesar Rp9,2 triliun, kanker Rp3 triliun, dan gagal ginjal Rp2,2 triliun. Selain itu, ada beberapa penyakit lain yang tidak tergolong katastropik tapi penjaminannya menyedot dana besar yakni katarak di tahun 2017 penjaminan yang dibayar BPJS Kesehatan mencapai Rp2,65 triliun, bayi baru lahir sehat Rp1,17 triliun, dan rehabilitasi medik serta fisioterapi Rp965 milyar. (Hukumonline.com)
Selanjutnya di halaman kompas.com disebutkan bahwa hingga 1 Juli 2018 ini, peserta JKN-KIS BPJS Kesehatan telah mencapai 199 juta jiwa atau sekitar 80 persen dari keseluruhan populasi penduduk Indonesia. Berdasaran informasi dari Direktur Keuangan dan Investasi BPJS Kesehatan Kemal Imam Santoso, kemungkinan terpenuhinya target kepesertaan hingga akhir tahun tidak dapat menutupi defisit yang tahun lalu mencapai Rp 9,75 triliun. Hal ini disebabkan, iuran kepesertaan BPJS Kesehataan dianggap terlalu murah.
Selain kecilnya premi, hal lain yang menjadi faktor minimnya penerimaan premi BPJS Kesehatan adalah masih banyaknya peserta yang terlambat membayar iuran dan menunggak, khususnya bagi peserta mandiri (Peserta Bukan Penerima Upah).
Rupanya langkah tersebut belum juga menjadi solusi mengatasi minimnya anggaran BPJS untuk melakukan kegiatan pelayanan kesehatan,, maka upaya berikutnya adalah BPJS Kesehatan menerbitkan 3 Perdir Jampelkes yang terdiri dari
Selain kecilnya premi, hal lain yang menjadi faktor minimnya penerimaan premi BPJS Kesehatan adalah masih banyaknya peserta yang terlambat membayar iuran dan menunggak, khususnya bagi peserta mandiri (Peserta Bukan Penerima Upah).
Upaya yang dilakukan BPJS Kesehatan
Berbagai upaya telah dilakukan pihak BPJS Kesehatan demi terpenuhinya pelayanan yang harus diberikan kepada peserta sebagaimana diamanatkan undang-undang. Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan menaikkan premi iuran per 1 April 2016. Ketentuan kenaikan iuran ini dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2016.Rupanya langkah tersebut belum juga menjadi solusi mengatasi minimnya anggaran BPJS untuk melakukan kegiatan pelayanan kesehatan,, maka upaya berikutnya adalah BPJS Kesehatan menerbitkan 3 Perdir Jampelkes yang terdiri dari
- Perdir Jampelkes BPJS Kesehatan No.2 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam Program Jaminan Kesehatan.
- Perdir Jampelkes BPJS Kesehatan No.3 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Lahir Sehat, dan
- Perdir Jampelkes BPJS Kesehatan No.5 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik
Gambar 1 : Aturan baru BPJS Kes sumber gambar : https://padek.co/koran/padangekspres.co.id/ |
Poin penting dari 3(tiga) aturan baru BPJS Kesehatan
Berdasarkan informasi dari pihak BPJS Kesehatan yang penulis kutip dari halaman www.hukumonline.com dapat dijelaskan poin-poin penting tentang 3(tiga) aturan baru BPJS yaitu:
- BPJS Kesehatan tetap menjamin pelayanan kesehatan untuk tiga jenis penyakit itu. Tapi, untuk mendapat pelayanan tersebut ada syarat yang harus dipenuhi.
- Untuk penyakit katarak, peserta yang bisa mendapat pelayanan operasi katarak yakni mereka dengan visus kurang dari 6/18. Sebelum menerbitkan ketentuan tersebut, BPJS Kesehatan sudah melibatkan pemangku kepentingan termasuk organisasi profesi Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami).
- Untuk penjaminan bayi lahir sehat sebagaimana diatur dalam Perdir Jampelkes No.3 Tahun 2018, BPJS Kesehatan telah berdiskusi dengan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). bahwa dengan aturan baru penjaminan untuk peserta yang melahirkan dengan anak yang lahir sehat, penjaminannya satu paket dengan klaim ibunya. Sebelumnya, penjaminan bayi dan ibunya dilakukan dengan 2 klaim terpisah. Klaim akan dibayar terpisah jika bayi baru lahir membutuhkan perawatan intensif seperti PICU, NICU, dan inkubator.
- Kemudian untuk rehabilitasi medis, BPJS Kesehatan juga telah berdiskusi dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia (Perdosri), BPJS Kesehatan mengatur peserta yang membutuhkan rehabilitasi medis bisa mendapat pelayanan 2 kali dalam satu pekan atau 8 kali dalam sebulan. Selain itu rehabilitasi medis bagi peserta JKN-KIS hanya bisa dilakukan oleh RS yang memiliki dokter spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (SpKFR). Bagi RS di daerah tertentu yang belum memiliki dokter SpKFR, pelayanan bisa diberikan kepada peserta JKN-KIS dengan memenuhi sejumlah syarat.
Ketiga aturan tersebut dianggap telah merugikan peserta karena akan mengurangi mutu pelayanan kesehatan yang diterima. Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Prof. Dr. I. Oetama Marsis, Sp.OG, menganggap 3 peraturan baru BPJS Kesehatan merugikan masyarakat (www.tribunews.com).
Mengapa ketiga aturan baru tersebut dianggap merugikan? berikut adalah alasan yang diungkapkan oleh PB IDI yang penulis kutip dari halaman yang sama;
- Semua kelahiran harus mendapatkan penanganan yang optimal karena bayi baru lahir berisiko tinggi mengalami sakit, cacat bahkan kematian. Perdijampel nomor 3 bertentangan dengan semangat IDI untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian bayi.
- Kebutaan katarak di Indonesia salah satu yang tertinggi di dunia. Perdirjampel nomor 2 dengan quota akan mengakibatkan angka kebutaan semakin meningkat. Kebutaan menurunkan produktivitas dan meningkatkan risiko cedera dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
- Pasien yang hanya mendapat pelayanan rehabilitasi medik maksimal 2 kali/minggu sesuai Perdijampel nomor 5, akan dirugikan karena hal tersebut tidak sesuai dengan standar pelayanan rehabilitasi medik. Akibatnya hasil terapi tidak tercapai secara optimal dan kondisi disabilitas sulit teratasi.
Terlepas dari permasalahan defisit anggaran dari BPJS Kesehatan sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di bidang kesehatan, kita tentunya sepakat perlu dilakukannya efisiensi dan langkah-langkah perbaikan namun dengan tetap mengutamakan mutu pelayanan kesehatan kepada peserta/masyarakat, karena itulah esensi dari adanya BPJS Kesehatan sebagaimana diamanatkan Undang-undang.
No comments:
Post a Comment